Kutacane – pilargayonews.com | Ketua Kaliber Aceh, Zoel Kenedi, melontarkan kritik tajam terhadap kinerja Bupati Aceh Tenggara yang dinilai gagal menjalankan sebelas poin program unggulan yang dijanjikan saat kampanye Pilkada 2024 lalu. Dalam pernyataan pedasnya, ia menyebut pemerintahan saat ini hanya sibuk menjalankan “program perut buncit”, bukan agenda perbaikan seperti yang dijanjikan kepada rakyat.
“Jangan tampar mulut sendiri dengan janji politikmu,” tegas Zoel Kenedi dalam keterangannya kepada media, Senin (15/7/2025).
Menurutnya, slogan “pemerintahan perbaikan” hanya menjadi retorika politik yang tidak pernah diwujudkan dalam tindakan nyata. Masyarakat, kata Zoel, masih terus membicarakan kegagalan ini di warung kopi hingga ke pelosok desa.
Janji Tinggal Tinta, Rakyat Jadi Korban
Salah satu janji utama yang sangat dinanti masyarakat, yakni penghapusan pungutan liar dalam proses administrasi, justru berubah menjadi mimpi buruk. Zoel menyebut, saat ini untuk mencairkan kegiatan di Dinas Keuangan, para pihak harus “menyetor” uang antara 10% hingga 15% dari total anggaran.
“Kalau ini bukan perintah atasan, lantas siapa? Jangan-jangan ini sudah jadi sistem yang dipelihara,” sindirnya.
Padahal sebelas poin program itu pernah dituangkan dalam surat pernyataan bermaterai, ditandatangani langsung oleh calon Bupati pada 14 Agustus 2024, di hadapan publik dan kader partai.
Kegagalan komunikasi antara kepala daerah dan rakyatnya pun tak luput dari sorotan. Ucapan sarkas seperti “Pekak Kadang Ko” yang pernah dilontarkan Bupati kepada publik dianggap mencerminkan rendahnya kualitas komunikasi pemimpin.
“Kalau rakyat pinggiran yang bilang, mungkin wajar. Tapi kalau Bupati? Itu menyakitkan. Bukannya menyejukkan, malah menyulut kemarahan warga,” ungkap Zoel.
Ia menilai, ucapan seperti itu menjadi simbol dari kegagalan komunikasi primer pemerintah terhadap masyarakatnya. Pesan tidak sampai, dan jika sampai pun malah menyinggung perasaan rakyat.
Dana Desa Jadi Ajang Titipan Elit
Zoel juga menyoroti kisruh seputar program dana desa yang dituding sebagai “titipan oknum”. Program tersebut disebut hanya menguntungkan elit-elit tertentu, dan bukan berdasarkan kebutuhan mendesak rakyat.
“Apa itu program mendesak untuk rakyat, atau mendesak karena kepentingan pribadi? Di lapangan, rakyat hanya dapat sisa. Yang kenyang ya elite dan koleganya,” pungkasnya.
Menurutnya, keretakan antara eksekutif dan pimpinan legislatif yang saling tuding dalam kasus dana desa justru memperjelas bahwa pemerintahan ini gagal membangun sinergi, apalagi kepercayaan rakyat.