Aceh Tenggara — pilargayonews.com | Dalam beberapa hari terakhir, jagat media sosial, khususnya Facebook, diramaikan dengan pernyataan bernada kasar dan hinaan yang dilontarkan oleh seorang pimpinan daerah kepada jurnalis dan aktivis. Pernyataan seperti “pekak kadang ko” (yang dalam tafsir bebas berarti: bodoh mungkin kau) menjadi sorotan publik karena diucapkan langsung oleh seorang kepala daerah.
Ungkapan yang tidak etis ini menimbulkan gelombang reaksi dari masyarakat sipil, aktivis, hingga kalangan jurnalis. Bagi kami, ini bukan sekadar persoalan komunikasi personal, tapi cerminan dari krisis etika dan kepemimpinan.
Sebagai pemimpin, seseorang seharusnya menjadi panutan, bukan malah memberi contoh buruk dalam berbahasa. Bahasa mencerminkan karakter, dan karakter adalah fondasi utama dalam membangun sebuah daerah. Ketika bahasa seorang pemimpin sudah kotor dan arogan, bagaimana ia bisa dipercaya untuk memperbaiki dan memajukan masyarakat yang dipimpinnya?
Saat ini, nilai-nilai luhur seperti sopan santun, adab berbicara, dan penghargaan terhadap sesama seolah mulai terkikis. Kita mulai terbiasa mendengar pejabat berucap kasar, merendahkan pihak lain, dan merasa superior karena posisinya.
Ketua LSM Kaliber Aceh, Zoel Kenedi, menyayangkan sikap tersebut. Menurutnya, jika seorang bupati atau pimpinan tidak mampu menjaga tutur katanya, maka ia juga tidak akan mampu menjaga martabat daerah yang dipimpinnya. Pemimpin bukan sekadar jabatan struktural, tapi simbol moral masyarakat.
“Kalau bahasanya saja rusak, bagaimana bisa memperbaiki daerah? Percuma Aceh Tenggara punya kekayaan alam dan keanekaragaman hayati kalau tidak ditopang oleh sumber daya manusia yang berakhlak dan berintegritas,” ujar Zoel.
Di era digital seperti sekarang, setiap ucapan pemimpin bisa terekam, disebarkan, dan menjadi konsumsi publik. Tidak ada ruang untuk sembunyi. Media sosial menjadi cermin dari siapa kita sebenarnya. Dan ketika pemimpin berbicara layaknya preman pasar, maka citra pemerintahannya pun akan tercoreng.
Rakyat butuh pemimpin yang bijaksana, bukan yang mudah tersulut emosi dan membalas kritik dengan caci maki. Rakyat perlu sosok yang merangkul, bukan yang membentak dan menghina. Kepemimpinan itu bukan tentang kekuasaan semata, tapi tanggung jawab moral untuk menjaga martabat dan nilai-nilai daerah.
“Jangan merasa diri hebat hanya karena duduk di kursi kekuasaan. Kursi itu milik rakyat. Retak tanganmu menjadi pimpinan bukan berarti kau bebas bersikap semena-mena,” tegas Zoel Kenedi.
Menurutnya, seorang pemimpin harus sadar bahwa jabatan itu amanah, bukan alat untuk merendahkan orang lain. Jika seorang jurnalis dan aktivis yang menjalankan tugasnya untuk mengawasi pemerintah justru dihina, maka kita harus bertanya: ada apa yang ditutup-tutupi?
Aceh Tenggara dikenal sebagai tanah metuwah—tanah yang kaya nilai budaya, adat, dan kearifan lokal. Tapi nilai-nilai ini akan perlahan hilang jika masyarakat dan terutama para pemimpinnya tidak lagi menjunjung tinggi budi pekerti, sopan santun, dan etika.
LSM Kaliber mengingatkan, jika perilaku pimpinan daerah terus dibiarkan tanpa koreksi, maka bukan tidak mungkin generasi muda akan tumbuh dalam budaya kasar, arogan, dan apatis terhadap nilai-nilai luhur. Dan itu menjadi awal dari kemunduran sosial dan moral daerah.
Pemimpin yang baik bukan hanya dilihat dari pembangunan fisik atau program kerja, tetapi dari sikap, tutur kata, dan kemampuannya menjaga martabat semua pihak. Jika seorang pemimpin gagal menjaga bahasanya, maka sesungguhnya ia sedang merusak fondasi kepercayaan masyarakat.
Oleh: Ketua LSM Kaliber Aceh, Zoel Kenedi