Takengon,Pilargayonews.com- Aktivis muda Aceh Tengah, Gilang Ken Tawar, menyatakan kekecewaannya terhadap sikap Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah yang menandatangani kesepakatan penundaan pembongkaran alat tangkap ikan jenis Cangkul Padang. Padahal, alat tangkap ini telah dinyatakan sebagai alat yang dilarang penggunaannya karena terbukti merusak ekosistem Danau Lut Tawar.
Pemerintah Daerah sebelumnya telah mulai melakukan pembongkaran terhadap sejumlah Cangkul Padang yang masih digunakan oleh oknum-oknum tertentu sebagai sumber penghidupan. Namun sebagian pemilik menolak penertiban tersebut dan justru melakukan aksi demonstrasi ke DPRK dengan tuntutan kompensasi. Ironisnya, alih-alih memperkuat langkah penegakan aturan, Ketua DPRK justru menandatangani perjanjian penundaan pembongkaran hingga para pendemo diberi kesempatan bertemu langsung dengan Bupati.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ini sangat disayangkan. Ketua DPRK seharusnya berdiri di sisi regulasi dan kepentingan masyarakat luas, bukan tunduk pada tekanan sekelompok orang yang mempertahankan alat tangkap yang dilarang. Ini bentuk kemunduran dalam penegakan aturan,” ujar Gilang Ken Tawar, yang juga dikenal sebagai pendiri Aliansi Masyarakat Gayo (AMG).
Menurut Gilang, langkah Ketua DPRK tersebut telah menimbulkan kegelisahan di kalangan nelayan tradisional yang selama ini konsisten mematuhi aturan dan tetap menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.
“Banyak nelayan tradisional merasa dikhianati. Mereka sudah lama menahan diri dan mengikuti aturan, tetapi justru yang melanggar kini dilayani tuntutannya. Ini tidak adil,” tegasnya.
Lebih lanjut, Gilang menolak pendekatan penyelesaian yang hanya berfokus pada kompensasi dalam bentuk ganti rugi. Ia menilai pendekatan semacam itu tidak menyentuh akar persoalan dan cenderung pragmatis. Pemerintah, menurutnya, harus mampu menawarkan solusi jangka panjang yang berorientasi pada kemandirian ekonomi nelayan.
“Yang dibutuhkan para nelayan bukan sekadar uang pengganti, melainkan program alternatif yang memberikan masa depan. Salah satunya bisa melalui pengembangan budidaya ikan air tawar berbasis kolam darat. Dengan pendekatan ini, para mantan pengguna alat tangkap destruktif dapat beralih ke sektor yang lebih berkelanjutan, ramah lingkungan, dan tetap produktif secara ekonomi,” ujar Gilang.
Model kolam darat memungkinkan nelayan membudidayakan ikan seperti nila, lele, atau patin dengan kontrol yang lebih baik terhadap kualitas air dan pakan, tanpa mengganggu ekosistem danau. Menurutnya, inisiatif semacam ini jauh lebih relevan dalam mendorong transformasi ekonomi masyarakat pesisir.
Diketahui, para nelayan tradisional kini tengah bersiap menggelar aksi protes sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan tersebut. Mereka menilai keputusan itu tidak hanya mencederai semangat perlindungan danau, tetapi juga berpotensi menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan sosial di antara sesama nelayan.
Gilang mendesak DPRK untuk mengevaluasi ulang sikap dan kebijakannya, serta menunjukkan keberpihakan yang tegas terhadap upaya pelestarian lingkungan dan kepentingan masyarakat luas yang hidup bergantung pada Danau Lut Tawar.
“Kalau Ketua DPRK tidak sanggup bersikap adil, maka rakyat yang akan bersuara. Jangan sampai DPRK kehilangan legitimasi karena tunduk pada tekanan minoritas pelanggar aturan,” pungkasnya.
Editor: Yusra Efendi