Oleh: Ketua LSM Kaliber Aceh, Zoel Kenedi
Kutacane — pilargayonews.com |
Sulit rasanya mengatakan bahwa kondisi Aceh Tenggara pasca pemilihan kepala daerah (Pilkada) saat ini dalam keadaan aman, damai, apalagi tenteram. Suasana di warung-warung kopi kawasan Kota Kutacane masih diwarnai kecemasan berlebihan. Masyarakat cenderung enggan membicarakan politik, bahkan sekadar mempergunjingkan dinamika pasca-pemilu pun terasa gamang.
Kondisi ini tak lepas dari carut-marut implementasi program pemerintahan baru. Janji perubahan dan slogan “perbaikan” yang digaungkan saat kampanye, nyatanya belum menampakkan hasil nyata. Program unggulan yang diharapkan masyarakat justru tenggelam di balik agenda-agenda seremonial yang tak menyentuh kebutuhan rakyat. Yang terlihat justru “program hore-hore” — kegiatan yang lebih banyak bersifat simbolik daripada substantif.
Dari sudut pandang saya, potret Aceh Tenggara hari ini masih menyedihkan. Masih ada anak-anak putus sekolah berkeliaran, pengemis jalanan yang tak tersentuh bantuan sosial, serta petani yang terus mengeluhkan mahalnya harga pupuk yang jauh dari Harga Eceran Tertinggi (HET). Ironisnya, elit-elit politik justru sibuk berebut “kue kekuasaan”, termasuk yang bersumber dari dana desa, sementara rakyat yang dulu menyumbangkan suara dalam Pilkada kini kembali dilupakan.
Aceh Tenggara 51 Tahun, Tapi Masih Gagap Melangkah
Tepat pada 26 Juni 2025, Kabupaten Aceh Tenggara genap berusia 51 tahun — usia yang secara administrasi tergolong dewasa. Namun, dari cara pemerintahannya berjalan, kabupaten ini masih seperti anak kecil yang baru belajar berdiri dan menyuap nasi sendiri.
Rangkaian peringatan HUT ke-51 Aceh Tenggara pun jauh dari harapan. Alih-alih menjadi ajang refleksi dan penghargaan kepada para tokoh pejuang pemekaran kabupaten, yang terjadi justru seolah memperlihatkan bahwa Aceh Tenggara hanya milik segelintir elite — khususnya para aparatur desa dan pegawai yang setiap tahun menjadi peserta utama dalam acara seremonial.
Tidak ada penghargaan istimewa bagi tokoh-tokoh yang telah berjasa membentuk kabupaten ini. Seperti pepatah, “bagai kacang lupa akan kulitnya”, Pemerintah Aceh Tenggara seakan menutup mata pada sejarah.
Sebagai aktivis, saya merasa perlu untuk bertanya: haruskah kita terus menunggu masa kejayaan Aceh Tenggara di tangan pemimpin baru? Atau justru sekaranglah waktunya untuk bergerak, menggugah kesadaran rakyat, dan menciptakan revolusi damai demi perubahan yang nyata?
Slogan perbaikan tidak boleh hanya menjadi omong kosong. Jangan bangga semata karena berhasil memulangkan seseorang dari luar negeri — itu tugas seorang pemimpin, bukan prestasi luar biasa.
Jika pemimpin hanya pandai menciptakan acara seremonial tanpa arah, dan rakyat tetap hidup dalam penderitaan struktural, maka sejatinya kita sedang mundur, bukan maju.
Aceh Tenggara bukan milik elit. Aceh Tenggara adalah milik rakyat.






