Takengon,Pilargayonews.com – Ketua Gerakan Pemuda ALA (GERPA), Gilang Ken Tawar, menanggapi keras anggapan yang menyebut perjuangan pembentukan Provinsi ALA (Aceh Leuser Antara) sebagai sekadar mimpi tanpa pijakan sejarah. Dalam pernyataan tegas yang disampaikan kepada media, Gilang menyebut tudingan itu bukan hanya keliru, tetapi juga mengabaikan denyut keadilan yang telah lama diperjuangkan masyarakat dataran tinggi dan wilayah tenggara Aceh.
“Ini bukan mimpi, ini gugatan sejarah,” tegas Gilang. “Gerakan ALA bukan lamunan dari warung kopi. Ia adalah bara yang lahir dari ketimpangan yang terlalu lama dianggap biasa.”
Gilang membantah satu per satu kritik terhadap ALA, mulai dari tuduhan tidak memiliki peta, narasi lintas etnis, hingga dianggap hanya aktif saat pemilu. Dengan bahasa tajam namun penuh data, ia menyajikan catatan sejarah dan kerja-kerja nyata yang telah dilakukan sejak 2002.
“Kami punya peta, Anda yang menutup mata,” katanya merujuk pada proposal resmi yang sejak dua dekade lalu telah masuk ke meja DPR RI dan bahkan dinyatakan layak secara administratif dan kewilayahan oleh Komisi II DPR dan Kemendagri tahun 2008. Namun proses itu terhenti bukan karena ALA tak siap, melainkan karena situasi politik Aceh pasca-Helsinki yang membuat Jakarta menahan seluruh proses pemekaran.
Lebih dari itu, Gilang juga menjawab kritik soal kurangnya narasi lintas etnis dalam gerakan ALA.
“Kami bukan sedang memaksakan satu identitas, tapi sedang menyusun rumah bersama,” jelasnya. Ia menegaskan bahwa ALA dibangun dari suara beragam etnis seperti Gayo, Alas, Singkil, Pakpak, hingga Tamiang—semua menyatu dalam semangat melawan politik sentralistik yang meminggirkan daerah.
Soal tudingan tidak punya konsep pembangunan, Gilang balik menyerang. Menurutnya, mereka yang mencibir justru abai pada realita: rumah sakit tanpa ruang isolasi saat pandemi, jembatan mahal tak berguna, dan anak-anak yang harus menyeberangi sungai untuk sekolah.
“Yang tidak punya konsep adalah mereka yang membiarkan itu semua terjadi. Kami justru sedang menyusun masterplan pembangunan bersama akademisi lintas kampus,” katanya.
Ia juga membantah keras anggapan bahwa elit ALA bermain dua kaki. Menurut Gilang, GERPA dan berbagai elemen rakyat bergerak bukan karena ambisi kekuasaan, melainkan karena keinginan akan keadilan.
“Kami tidak hidup dari baliho dan spanduk. Kami hidup dari kerja sunyi: mengorganisir, menyuarakan, menulis sejarah sendiri,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Gilang menyatakan bahwa ALA bukan sekadar cita-cita administratif, melainkan hak sejarah yang telah dirampas.
“Kami tidak meminta izin menjadi provinsi. Kami menuntut kembali hak yang sudah lama dilupakan. ALA bukan mimpi—ia adalah kenyataan yang terlalu lama ditunda,” pungkasnya.
Rill