Oleh Zoel Kenedi, Ketua LSM Kaliber Aceh
Pilargayonews.com | Arogansi bukanlah tanda kekuatan, melainkan sinyal kelemahan yang dibungkus dengan ego. Seorang pemimpin yang mudah tersulut emosi, kasar dalam tutur kata, dan enggan menerima kritik sejatinya tidak layak berada di pucuk kepemimpinan. Sebab, kepemimpinan bukan soal kekuasaan, melainkan soal melayani.
Studi yang pernah dipublikasikan Washington Post mengutip psikolog Ashley Merryman menegaskan bahwa kerendahan hati adalah karakter esensial dalam kepemimpinan yang efektif. Pemimpin yang rendah hati cenderung lebih terbuka, kolaboratif, dan mampu menciptakan lingkungan kerja yang produktif. Sebaliknya, pemimpin arogan cenderung merasa paling benar, menutup ruang dialog, dan meremehkan kontribusi orang lain.
Sebagai Ketua LSM Kaliber Aceh, saya menilai bahwa seorang pemimpin yang marah dan mencaci ketika dikritik oleh jurnalis atau aktivis sosial, bukan hanya gagal memahami peran sosial kontrol, tetapi juga menunjukkan ketidakdewasaan dalam memimpin. Ketika kritik dianggap sebagai serangan, maka sesungguhnya ia sedang memelihara zona nyaman yang rapuh. Padahal, kritik adalah vitamin demokrasi — pahit, tapi menyehatkan.
Jika seorang pemimpin merasa risih dengan pemberitaan, itu justru menandakan bahwa ada yang tidak beres. Pemimpin yang bersih dan transparan tak akan merasa terusik oleh suara kritis. Sebaliknya, ia akan merangkulnya sebagai umpan balik yang berharga.
Arogansi hanya akan memisahkan pemimpin dari rakyatnya. Ia menjadi menara gading yang jauh dari realita di bawah. Ia lupa bahwa jabatan adalah amanah, bukan anugerah untuk berlaku semena-mena. Tak ada daerah yang akan maju di tangan pemimpin yang anti-kritik dan membenci pers.
Sudah saatnya kita menilai pemimpin bukan dari seberapa lantang suaranya ketika marah, tapi seberapa tenang ia menanggapi kritik. Bukan dari seberapa banyak ia berpidato, tapi dari seberapa tulus ia mendengar.