Takengon, Pilargayonews.com – Zulfikar AB tidak sedang bermimpi. Politisi kawakan yang pernah melenggang ke DPRK lewat Partai PNBK dan Gerindra itu kini kembali turun gelanggang, bukan untuk meraih kursi kekuasaan, tapi untuk membangkitkan wacana lama yang pernah ia suarakan: pemekaran wilayah Aceh Tengah.
“Ini bukan tentang ambisi kekuasaan. Ini tentang membenahi rumah kita yang terlalu besar untuk diurus sendiri,” ujar Zulfikar kepada KenNews.id, Sabtu (12/4/2025), dengan mata yang tak bisa menyembunyikan semangat.
Bersama dua tokoh lokal lainnya, Sirajuddin dan Hamzah Tun, Zulfikar menggagas terbentuknya Kotamadya Gayo, wilayah administratif baru yang meliputi kecamatan Bebesen, Lut Tawar, Kebayakan, dan Bintang. Wilayah yang kini menjadi jantung pemerintahan dan pusat aktivitas masyarakat Aceh Tengah itu, kata mereka, sudah terlalu kompleks untuk ditangani dari satu pusat kendali saja.
“Dengan luas wilayah dan karakter geografi kita, Aceh Tengah sangat logis untuk dimekarkan menjadi tiga kabupaten dan satu kotamadya,” tambah Hamzah Tun, yang dikenal sebagai tokoh pembangunan pedalaman. Fokus utamanya? Penguatan ekonomi lokal, terutama melalui optimalisasi Danau Laut Tawar—ikon alam sekaligus sumber daya yang selama ini kurang dimanfaatkan secara maksimal.
Sirajuddin menyebutkan bahwa nama “Gayo” dipilih sebagai bentuk penghormatan terhadap identitas budaya yang kuat di kawasan tersebut. Meski demikian, ia membuka ruang dialog jika ada nama lain yang lebih mencerminkan aspirasi masyarakat.
Wacana ini tentu tak akan lepas dari tantangan: tarik-menarik kepentingan, keraguan birokrasi, hingga kekhawatiran akan pembengkakan anggaran. Namun di balik semua itu, ada hal yang lebih penting—harapan.
Harapan agar pelayanan publik bisa lebih dekat. Harapan agar potensi lokal tak lagi dikorbankan karena sentralisasi. Dan harapan agar Gayo tak hanya menjadi nama budaya, tapi juga entitas pemerintahan yang mandiri.
Zulfikar dan kawan-kawan telah menyalakan api kecil di tengah kabut keraguan. Kini, tinggal menunggu: apakah api itu akan menyala menjadi obor perubahan? Ataukah sekali lagi padam oleh angin politik?
Yusra Efendi