Takengon – Sebuah bangunan megah berdiri di Pegasing, Aceh Tengah. Dulu ia dirancang sebagai rumah sakit rujukan terbesar di wilayah tengah Aceh. Namun kini, yang tampak hanyalah dinding kusam, plafon bolong, lobi runtuh, instalasi rusak, dan halaman yang ditumbuhi semak liar.
Rumah Sakit Regional Pegasing, nama yang sempat dielu-elukan, justru lebih mirip gedung terbengkalai daripada pusat kesehatan. Kondisinya kian memprihatinkan: 12 unit pendingin ruangan (AC central) hilang tak berjejak, kaca pecah, material bangunan berserakan, hingga kabel listrik porak-poranda.
Alih-alih melayani masyarakat, gedung ini kini menyisakan cerita pahit. Ia menjadi saksi bisu kasus korupsi yang menyeret lima orang ke meja hijau. Proyek pembangunan yang bersumber dari APBA 2011 itu meninggalkan kerugian negara sekitar Rp1,17 miliar.
Lebih dari satu dekade berlalu, luka lama itu belum benar-benar sembuh. Pemerintah Aceh kembali dihadapkan pada dilema besar: biaya perbaikan yang mencapai Rp40 miliar, sebagaimana hasil kajian teknis Dinas Perkim Aceh pada 2025. Angka fantastis itu tentu mustahil ditanggung sendiri oleh Pemkab Aceh Tengah yang tengah bergulat dengan defisit anggaran.
Besok, Pemerintah Aceh dijadwalkan menyerahkan bangunan ini kepada Pemkab Aceh Tengah melalui mekanisme hibah. Namun, ada catatan penting: operasional rumah sakit baru bisa berjalan setelah Pemprov Aceh membantu menerbitkan Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Artinya, tanggung jawab pemulihan fisik gedung tetap berada di pundak Pemerintah Aceh.
Tanpa perbaikan menyeluruh, RS Regional Pegasing hanya akan jadi bangunan kosong – monumen kerusakan yang tak pernah berfungsi sebagaimana cita-cita awal.
Masyarakat Aceh Tengah tentu berharap, gedung ini tak lagi menjadi “bangunan angker berlapis kasus”, melainkan benar-benar bangkit sebagai pusat pelayanan kesehatan modern. Harapan itu kini menggantung pada komitmen Pemerintah Aceh: apakah berani memberi “nafas baru” bagi rumah sakit yang sudah lama kehilangan fungsinya.