Kutacane — Ketua LSM Kaliber Aceh, Zoel Kenedi, kembali melontarkan kritik tajam terhadap praktik politik di Kabupaten Aceh Tenggara yang dinilainya semakin jauh dari nilai etika dan moral. Dalam pernyataannya, Zoel menyebut adanya indikasi politik transaksional yang kian merajalela, terutama di wilayah Kecamatan Leuser.
Zoel menyoroti sejumlah kebijakan dan proyek yang dinilainya sarat kepentingan elite politik, mulai dari pengadaan mobil dinas, pengadaan bibit cokelat, hingga dugaan intimidasi terhadap para kepala desa.
“Dari pengadaan mobil dinas, bibit coklat, hingga menakut-nakuti kepala desa di Kecamatan Leuser — apa lagi yang kurang? Kejamnya politik seperti ini tidak hanya mencederai demokrasi, tetapi juga merugikan masyarakat di pedalaman,” ujar Zoel dalam keterangan tertulisnya.
Menurutnya, sejumlah kepala desa di Kecamatan Leuser merasa ditekan oleh oknum yang diduga bagian dari lingkaran kekuasaan. Mereka diancam akan diaudit oleh APIP maupun APH jika tidak mengikuti program yang diarahkan oleh elite politik tertentu.
Tak hanya itu, Zoel juga menyebut ada dugaan praktik jual beli jabatan dalam pengangkatan Penjabat (Pj) kepala desa dengan tarif yang mencapai Rp30 juta hingga Rp45 juta per orang.
“Mustahil seorang pimpinan di tingkat kecamatan berani bermain sendiri tanpa restu atau arahan dari atasan. Kalau tidak ada perintah dari atas, mana mungkin berani?” katanya lagi.
Ia juga menyebut bahwa salah satu elite politik yang dimaksud sudah dua periode menjabat di DPRK Aceh Tenggara, dan kini dianggap semakin haus kekuasaan.
Di tengah kondisi tersebut, masyarakat pedalaman disebut semakin terpinggirkan. “Sementara warga di pedalaman berjuang menahan derita, para elite malah sibuk mengamankan kepentingan politik dan pribadi,” ujarnya.
Zoel pun meminta aparat penegak hukum, baik di tingkat daerah maupun pusat, untuk menelusuri dan mengusut dugaan-dugaan tersebut secara terbuka dan transparan.
Zoel menegaskan, etika dan moral seharusnya menjadi pondasi utama dalam praktik politik. Ia mengingatkan bahwa politik tidak boleh hanya menjadi alat meraih kekuasaan semata, apalagi dengan cara-cara yang menakut-nakuti dan memanipulasi pemerintahan desa.
“Politik bukan tentang menghalalkan segala cara. Bila ini terus dibiarkan, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan terus runtuh,” tutupnya.
Hingga berita ini dirilis, belum ada tanggapan resmi dari pihak DPRK Aceh Tenggara maupun pemerintah daerah terkait pernyataan tersebut.