Aceh Tenggara – pilargayonews. com | Sekretariat Daerah (Setda) merupakan tulang punggung dalam menjalankan sistem pemerintahan daerah. Dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah (Sekda), lembaga ini memiliki peran strategis dalam membantu Bupati menyusun dan mengoordinasikan kebijakan, serta memastikan kelancaran pelaksanaan tugas seluruh perangkat daerah.
Dalam tugasnya, Sekretariat Daerah memiliki tujuh fungsi utama:
1. Penyusunan rencana kerja Sekretariat Daerah
2. Pengoordinasian penyusunan kebijakan daerah
3. Pengoordinasian pelaksanaan tugas perangkat daerah
4. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan daerah
5. Pelayanan administratif dan pembinaan aparatur
6. Pelayanan kesekretariatan bagi pimpinan daerah
7. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan Bupati
Namun, ketujuh fungsi itu tampaknya hanya tinggal teori di Pemerintahan Kabupaten Aceh Tenggara. Tatanan birokrasi di daerah ini dinilai makin tidak terkendali. Anehnya, di tengah ketidakberesan tata kelola birokrasi, Aceh Tenggara justru memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI—sebuah pencapaian yang sulit dicerna dengan akal sehat.
Belanja Mewah, Pelayanan Runtuh
Pada tahun 2024, paket swakelola di lingkungan Sekretariat Daerah Aceh Tenggara mencatat anggaran fantastis:
Belanja makan minum, jamuan tamu, dan rapat-rapat: Rp4,1 miliar
Perjalanan dinas dalam dan luar daerah: Rp3,57 miliar
Honorarium tim pelaksana kegiatan: Rp5,56 miliar
Publik pun mempertanyakan efektivitas penggunaan anggaran tersebut. Untuk belanja jamuan tamu sebesar Rp2,69 miliar, tak jelas berapa kali pemerintah menerima kunjungan tamu dari provinsi atau pusat, dan berapa jumlah tamu yang dilayani. Menu makanan seperti apa yang dihidangkan untuk pegawai dan tamu dengan anggaran sebesar itu?
Ironisnya, ketika publik melontarkan kritik, Bupati dan Sekda Aceh Tenggara justru menunjukkan sikap antikritik. Sang Bupati dinilai arogan, bahkan bergaya bak preman saat dikritik. Sementara Sekda memilih “naik status” di media sosial, bukan menjawab substansi persoalan. Jika merasa bersih, mengapa harus risih?
Dengan kondisi seperti ini, Aceh Tenggara seolah pantas menyandang status quo birokrasi: jalan di tempat, tanpa arah, tanpa perubahan.
Kaliber Aceh menegaskan bahwa reformasi birokrasi tidak akan pernah berhasil jika pejabat tidak memahami tugas pokok dan fungsi mereka. Ilmu birokrasi bukan hanya soal struktur, tapi tentang bagaimana melayani rakyat dengan benar, transparan, dan bertanggung jawab.
Oleh: Ketua Kaliber Aceh, Zoel Kenedi