Aceh Tenggara — Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Aceh Tenggara telah usai. Rakyat telah menentukan pilihannya, dan kini daerah tersebut telah memiliki Bupati dan Wakil Bupati terpilih yang resmi menjabat. Dalam kampanye politiknya, pasangan ini mengusung 11 program unggulan yang dijanjikan mampu membawa perubahan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Namun sayang, hingga saat ini, belum satu pun dari program tersebut yang benar-benar terwujud secara nyata.
Secara konstitusi, tugas seorang Bupati adalah memimpin dan menyelenggarakan roda pemerintahan daerah, menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, serta menjaga ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Tugas itu tidaklah ringan. Seorang Bupati harus menjadi pemimpin yang bijak, melayani, dan mengayomi seluruh lapisan rakyatnya.
Namun di Aceh Tenggara, situasi politik justru memperlihatkan fenomena lain. Bupati yang terpilih disebut-sebut banyak pihak telah menyeret adik kandungnya ke lingkaran kekuasaan — bukan secara struktural, melainkan secara informal, tetapi dominan. Banyak yang menyebut, kendati tidak memiliki jabatan resmi, sang adik kini berperilaku dan berpengaruh bak seorang “Gubernur” di daerah.
Sejumlah sumber menyampaikan bahwa gaya kepemimpinan Bupati dan perilaku adiknya telah membuat banyak bawahan maupun tokoh masyarakat merasa kecewa. Salah satu pernyataan kasar Bupati yang sempat mencuat di tengah publik adalah ucapan: “Pekak Kadang Ko” (bodoh mungkin kau). Bahasa yang tak mencerminkan etika seorang pemimpin daerah.
Tak kalah kontroversial, sang adik yang tidak memegang jabatan formal pemerintahan juga sering diduga mencampuri urusan pemerintahan. Bahkan menurut beberapa pihak, gaya komunikasinya terhadap bawahan dan rekan kerja pun kasar, sinis, dan tak segan-segan merendahkan orang lain. Tak sedikit ASN dan tokoh masyarakat yang memilih menjaga jarak karena tidak tahan dengan perilaku arogansi yang mereka tunjukkan.
“Mereka memimpin dengan mulut yang kasar. Si adik bahkan lebih sering mencela dan merendahkan. Orang sudah mulai enggan dekat, karena kalau dekat dibuat seperti babu,” ungkap seorang sumber yang enggan disebutkan namanya.
Fenomena keterlibatan keluarga dalam pemerintahan memang bukan hal baru di Indonesia. Namun jika kehadiran anggota keluarga justru menjadi sumber keresahan, tentu menjadi alarm bagi demokrasi lokal. Kekuasaan yang terpusat pada satu keluarga, apalagi disalahgunakan, hanya akan menjauhkan rakyat dari keadilan dan pelayanan publik yang layak.
Kitab suci Al-Qur’an telah menegaskan bahwa pemimpin adalah pelayan umat. Pemimpin sejati adalah mereka yang bersikap santun, menghargai rakyatnya, dan tidak menjadikan jabatan sebagai alat menebar kesombongan. Pemimpin bukan preman. Pemimpin bukan penguasa yang menggunakan mulut untuk mengintimidasi.
Aceh Tenggara bukan milik segelintir orang. Ia milik seluruh rakyat. Janji-janji yang dulu diumbar saat kampanye bukanlah sekadar slogan, tetapi hutang politik yang harus dibayar dengan kinerja nyata.
Sudah saatnya Bupati dan seluruh jajaran di Aceh Tenggara kembali membumi. Rakyat tidak butuh pemimpin yang arogan, tapi butuh keteladanan, kerja nyata, dan tutur kata yang menyejukkan. Jabatan adalah amanah, bukan warisan. Dan jika amanah itu diselewengkan, maka publik berhak menagihnya, bahkan menjatuhkannya lewat jalur konstitusi.
Oleh: Zoel Kenedi, Ketua LSM Kaliber Aceh